Selasa, 07 April 2009

Soedjojo, Bertahan demi Majunya Batik

Dua rak di Sanggar Batik Sayu Wiwit di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, pada minggu kedua bulan Juli tampak kosong. Konsumen yang melakukan pembelian langsung ke sentra tersebut pada hari itu harus gigit jari. Meski masih ada kain batik yang tersisa, tidak lagi diperjualbelikan karena sudah ada yang memesan.

Semua kain batik ini pesanan. Kalau berminat, saya buatkan. Tetapi, harus menunggu paling cepat dua minggu lagi," kata pemilik sentra kerajinan batik bercorak khas Banyuwangi, Soedjojo Dulhadji (60), saat ditemui di sentra kerajinan batik Jalan Sekardalu Temenggungan, Banyuwangi, Jawa Timur.

Jika ingin memesan batik tulis, kata pengusaha yang disapa Oyo ini, butuh waktu lama, apalagi dalam jumlah besar. Alasannya, saat ini jumlah pembatik sangat minim karena faktor usia yang mulai lanjut. Selain itu, beberapa perajin tidak lagi berprofesi sebagai pembatik setelah menikah atau pindah rumah.

Oyo sulit menggenjot produksi karena pembatik yang bekerja di sentra itu harus bisa membuat corak khas Banyuwangi, antara lain gajah uling berbentuk melengkung layaknya belalai gajah. Corak lain adalah kangkung setingkes. Minimnya jumlah pembatik merupakan salah satu faktor yang mendorong Oyo untuk memproduksi batik cap dan printing sejak tahun 2000.

Sanggar Sayu Wiwit yang dirintis sejak tahun 1995 merupakan salah satu usaha batik yang masih bertahan di Kelurahan Temenggungan. Oyo terjun ke bisnis batik karena sangat tertarik soal batik. Modal awalnya pun tak besar. Hanya berupa order pembuatan kain batik tulis dari Pemkab Banyuwangi. "Ketika itu setiap ada order banyak digarap bersama-sama sehingga pendapatan di kalangan pengusaha merata, meski jumlahnya tidak terlalu besar. Sekarang sudah banyak yang gulung tikar," ujar Oyo, yang mengandalkan istrinya, Sri Roestini, sebagai desainernya.

Padahal sebelum krisis moneter mendera Indonesia tahun 1997, menurut Oyo, Sanggar Sayu Wiwit bisa memproduksi minimal sekitar 60 lembar batik tulis seharga Rp 150.000 per lembar dengan panjang 2,5 meter. Adapun batik printing Rp 12.500 per meter dan batik cap Rp 20.000 per meter. Batik printing dengan corak gajah uling semakin tinggi produksinya karena pada tahun 1997 dijadikan seragam sekolah di kabupaten itu. Kain batik yang diproduksi baik cap maupun printing bisa mencapai 1.000 meter per bulan.

Terus berkurang

Menurut Oyo, ketika mulai terjun ke usaha batik di Kelurahan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, ada 86 pembatik. Akhir 2004 tinggal 15 orang. Kini tujuh di antaranya bekerja di Sanggar Sayu Wiwit.

Meski produksi terus merosot dan pembatik juga semakin langka, Oyo tetap mempertahankan usaha batiknya. "Sebenarnya ada 15-20 corak khas batik Banyuwangi, tetapi yang diterima pasar hanya corak gajah uling sehingga corak tersebut terus dimodifikasi agar tetap diterima pasar," tutur sarjana muda hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Dalam upaya mempertahankan usahanya di tengah gempuran produk konfeksi impor, Oyo mengembangkan corak baru tanpa menghilangkan ciri khas batik banyuwangi. Motif yang dikembangkan seperti sulur tanaman, kupu-kupu atau bunga. Selain terus memodifikasi corak batik, kerja sama dengan pemkab dan beberapa pengelola sekolah di Banyuwangi juga terus dibina.

Sampai sekarang respons mereka sangat bagus. Batik bercorak gajah uling tetap digunakan sebagai seragam pelajar. "Andalan produksi saat ini batik printing dan cap untuk seragam sekolah. Jadi panen hanya pada tahun ajaran baru," kata Oyo. Ia mengaku, pasar utama produk batiknya di Banyuwangi meski banyak peminat dari Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.

Memproduksi batik cap dan printing dilakukan Oyo karena terus meningkatnya permintaan terhadap kedua jenis batik tersebut. "Tidak ada pilihan lain, kalau ingin produksi terdongkrak harus mengedepankan batik cap dan printing karena kapasitas produksinya jauh di atas batik tulis," paparnya.

Sebagai perbandingan, sejak akhir 2004 tujuh perajin yang bergabung di Sanggar Sayu Wiwit hanya mengerjakan masing- masing satu lembar batik tulis. Pasalnya, untuk mengerjakan selembar batik tulis sepanjang 2,5 meter butuh waktu satu minggu. Satu bulan hanya ada 6-7 lembar. Bahkan, jika coraknya rumit, penggarapan batik tulis butuh waktu dua minggu.

Adapun batik cap bisa 15-20 lembar per hari dan batik printing 200 meter per hari, dengan asumsi tidak ada pesanan. Harga batik cap Rp 25.000-Rp 30.000 per meter dan batik printing Rp 15.000-Rp 17.000 per meter. Sedangkan batik tulis paling murah Rp 200.000 per lembar. Jika bahannya kain sutra harganya Rp 300.000.

Di tengah kesibukan menjalankan roda usaha batik, dirinya menyusun program pengembangan usaha batik gajah uling di Banyuwangi. "Demi melestarikan budaya membatik, saya ingin menggelar pelatihan untuk menjaring pembatik muda, sekaligus membina kaum perempuan untuk ikut mencari penghasilan keluarga," kata Oyo, yang tengah mengajukan proposal meminta dukungan modal dari Pemkab Banyuwangi. (Agnes Swetta Pandia)

Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0608/14/ekonomi/2877441.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar