Selasa, 07 April 2009

Kaya Motif, Batik Banyuwangi Belum Dipatenkan


BANYUWANGI
-Tak banyak warga yang tahu, bahwa sejatinya Banyuwangi merupakan salah satu daerah asal batik di Nusantara. Banyak motif asli batik khas Bumi Blambangan. Namun hingga sekarang, baru 21 jenis motif batik asli Banyuwangi yang diakui secara nasional.

Tren penggunaan motif batik pada pakaian mulai meningkat akhir-akhir. Gairah perkembangan bisnis batik kembali terasa menggeliat di Banyuwangi.

Dulunya, baju batik lebih banyak dikenakan pada acara resmi. Misalnya acara resepsi atau kegiatan resmi lainnya. Namun saat ini, batik sudah banyak dipakai untuk tren baju sehari-hari. Mulai seragam sekolah dan baju kerja karyawan perkantoran, motif pelengkap kerudung, baju casual hingga busana muslim untuk acara santai.

Meski sudah menjadi pakaian sehari-hari, warga Kota Gandrung banyak yang tidak tahu bahwa batik sebenarnya sudah lama berkembang di Banyuwangi. Bahkan, batik sudah ada sejak zaman kerajaan Blambangan. "Batik Banyuwangi itu memiliki khas tersendiri," ujar HM Suyadi, salah satu pengusaha batik Banyuwangi.

Bos galeri batik Virdes di Kecamatan Cluring itu mengungkapkan, Banyuwangi sebenarnya termasuk daerah asal batik. Karena minimnya perajin, akhirnya batik Banyuwangi kalau jauh dengan daerah lain di Jawa Tengah dan Jogjakarta. "Biasanya kalau bicara batik, bayangan kita itu pasti langsung ke Jogja, Solo, atau Pekalongan," katanya.

Sebagai salah satu daerah asal batik, Banyuwangi memiliki banyak motif. Di museum batik, Banyuwangi tercatat punya 21 jenis motif batik yang jadi ciri khas Banyuwangi. "Sebenarnya masih banyak, tapi yang diakui 21 motif batik itu," ujarnya.

Di antara 21 motif batik yang kini banyak digandrungi warga Blambangan, di antaranya ada motif gajah uling, paras gempal, kangkung setingkes, sembruk cacing, gedegan, ukel, blarak semplah, dan moto pitik. "Nama motif ini khas Banyuwangi, ini menunjukkan batik asli Banyuwangi" jelasnya.

Selama ini, kata Suyadi, ada anggapan yang salah kalau gajah oling itu batik khas Banyuwangi. Padahal yang benar, gajah uling hanya salah satu dari sekian banyak nama motif batik khas Banyuwangi. "Semua motif dari batik Banyuwangi itu diciptakan oleh nenek moyang Banyuwangi sendiri," paparnya.

Dalam penciptaannya, motif batik Banyuwangi ternyata banyak dipengaruhi oleh kondisi alam. Gajah uling yang cukup dikenal itu, motifnya berupa hewan seperti belut yang ukurannya cukup besar. "Motif sembruk cacing juga kayak cacing, dan motif gedegan juga kayak gedeg (anyaman bambu)," bebernya.

Bagi Suyadi, penciptaan motif batik Banyuwangi merupakan bentuk karya seni yang cukup tinggi. Semua motif itu diambilkan dari kekayaan alam Banyuwangi yang beraneka ragam. "Jadi motif batik ini warisan nenek moyang itu bernilai seni yang harus dipertahankan," cetusnya.

Motif batik seperti di Banyuwangi ini, tidak akan bisa ditemukan di daerah lain. Karena batik dengan motif ini, sudah menjadi identitas dari batik khas Banyuwangi. "Untuk menghindari pembajakan, pemerintah harusnya mempatenkan motif batik Banyuwangi ini," harapnya.(abi/bay)

Jawa Pos, Minggu, 14 Desember 2008

Soedjojo, Bertahan demi Majunya Batik

Dua rak di Sanggar Batik Sayu Wiwit di Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur, pada minggu kedua bulan Juli tampak kosong. Konsumen yang melakukan pembelian langsung ke sentra tersebut pada hari itu harus gigit jari. Meski masih ada kain batik yang tersisa, tidak lagi diperjualbelikan karena sudah ada yang memesan.

Semua kain batik ini pesanan. Kalau berminat, saya buatkan. Tetapi, harus menunggu paling cepat dua minggu lagi," kata pemilik sentra kerajinan batik bercorak khas Banyuwangi, Soedjojo Dulhadji (60), saat ditemui di sentra kerajinan batik Jalan Sekardalu Temenggungan, Banyuwangi, Jawa Timur.

Jika ingin memesan batik tulis, kata pengusaha yang disapa Oyo ini, butuh waktu lama, apalagi dalam jumlah besar. Alasannya, saat ini jumlah pembatik sangat minim karena faktor usia yang mulai lanjut. Selain itu, beberapa perajin tidak lagi berprofesi sebagai pembatik setelah menikah atau pindah rumah.

Oyo sulit menggenjot produksi karena pembatik yang bekerja di sentra itu harus bisa membuat corak khas Banyuwangi, antara lain gajah uling berbentuk melengkung layaknya belalai gajah. Corak lain adalah kangkung setingkes. Minimnya jumlah pembatik merupakan salah satu faktor yang mendorong Oyo untuk memproduksi batik cap dan printing sejak tahun 2000.

Sanggar Sayu Wiwit yang dirintis sejak tahun 1995 merupakan salah satu usaha batik yang masih bertahan di Kelurahan Temenggungan. Oyo terjun ke bisnis batik karena sangat tertarik soal batik. Modal awalnya pun tak besar. Hanya berupa order pembuatan kain batik tulis dari Pemkab Banyuwangi. "Ketika itu setiap ada order banyak digarap bersama-sama sehingga pendapatan di kalangan pengusaha merata, meski jumlahnya tidak terlalu besar. Sekarang sudah banyak yang gulung tikar," ujar Oyo, yang mengandalkan istrinya, Sri Roestini, sebagai desainernya.

Padahal sebelum krisis moneter mendera Indonesia tahun 1997, menurut Oyo, Sanggar Sayu Wiwit bisa memproduksi minimal sekitar 60 lembar batik tulis seharga Rp 150.000 per lembar dengan panjang 2,5 meter. Adapun batik printing Rp 12.500 per meter dan batik cap Rp 20.000 per meter. Batik printing dengan corak gajah uling semakin tinggi produksinya karena pada tahun 1997 dijadikan seragam sekolah di kabupaten itu. Kain batik yang diproduksi baik cap maupun printing bisa mencapai 1.000 meter per bulan.

Terus berkurang

Menurut Oyo, ketika mulai terjun ke usaha batik di Kelurahan Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, ada 86 pembatik. Akhir 2004 tinggal 15 orang. Kini tujuh di antaranya bekerja di Sanggar Sayu Wiwit.

Meski produksi terus merosot dan pembatik juga semakin langka, Oyo tetap mempertahankan usaha batiknya. "Sebenarnya ada 15-20 corak khas batik Banyuwangi, tetapi yang diterima pasar hanya corak gajah uling sehingga corak tersebut terus dimodifikasi agar tetap diterima pasar," tutur sarjana muda hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu.

Dalam upaya mempertahankan usahanya di tengah gempuran produk konfeksi impor, Oyo mengembangkan corak baru tanpa menghilangkan ciri khas batik banyuwangi. Motif yang dikembangkan seperti sulur tanaman, kupu-kupu atau bunga. Selain terus memodifikasi corak batik, kerja sama dengan pemkab dan beberapa pengelola sekolah di Banyuwangi juga terus dibina.

Sampai sekarang respons mereka sangat bagus. Batik bercorak gajah uling tetap digunakan sebagai seragam pelajar. "Andalan produksi saat ini batik printing dan cap untuk seragam sekolah. Jadi panen hanya pada tahun ajaran baru," kata Oyo. Ia mengaku, pasar utama produk batiknya di Banyuwangi meski banyak peminat dari Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.

Memproduksi batik cap dan printing dilakukan Oyo karena terus meningkatnya permintaan terhadap kedua jenis batik tersebut. "Tidak ada pilihan lain, kalau ingin produksi terdongkrak harus mengedepankan batik cap dan printing karena kapasitas produksinya jauh di atas batik tulis," paparnya.

Sebagai perbandingan, sejak akhir 2004 tujuh perajin yang bergabung di Sanggar Sayu Wiwit hanya mengerjakan masing- masing satu lembar batik tulis. Pasalnya, untuk mengerjakan selembar batik tulis sepanjang 2,5 meter butuh waktu satu minggu. Satu bulan hanya ada 6-7 lembar. Bahkan, jika coraknya rumit, penggarapan batik tulis butuh waktu dua minggu.

Adapun batik cap bisa 15-20 lembar per hari dan batik printing 200 meter per hari, dengan asumsi tidak ada pesanan. Harga batik cap Rp 25.000-Rp 30.000 per meter dan batik printing Rp 15.000-Rp 17.000 per meter. Sedangkan batik tulis paling murah Rp 200.000 per lembar. Jika bahannya kain sutra harganya Rp 300.000.

Di tengah kesibukan menjalankan roda usaha batik, dirinya menyusun program pengembangan usaha batik gajah uling di Banyuwangi. "Demi melestarikan budaya membatik, saya ingin menggelar pelatihan untuk menjaring pembatik muda, sekaligus membina kaum perempuan untuk ikut mencari penghasilan keluarga," kata Oyo, yang tengah mengajukan proposal meminta dukungan modal dari Pemkab Banyuwangi. (Agnes Swetta Pandia)

Sumber: http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0608/14/ekonomi/2877441.htm

Batik “Gajah Oling”, Khas Banyuwangi

Friday, May 4th, 2001

SELAMA ini, orang mengidentikkan batik dengan Kota Solo dan Pekalongan di Jawa Tengah, maupun Kota Yogyakarta. Walaupun, usaha batik di Pulau Jawa, sebenarnya tak hanya berkisar di situ-situ saja.

Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, adalah salah satu wilayah produsen batik, yang jarang ditengok orang. Padahal, kekhasan batik Banyuwangi dengan ciri gajah uling-nya, tak dapat dikesampingkan begitu saja.

Gajah uling memang bentuk dasar batik Banyuwangi. Pada kain batik produksi kota ini, selalu ada gambar gajah uling. Dari asal katanya, kata itu merupakan gabungan kata dari gajah, dan uling, yaitu sejenis ular yang hidup di air (semacam belut).

Ciri itu berbentuk seperti tanda tanya, yang secara filosofis merupakan bentuk belalai gajah dan sekaligus bentuk
uling. Di samping unsur utama itu, karakter batik tersebut juga dikelilingi sejumlah atribut lain. Di antaranya, kupu-kupu, suluran (semacam tumbuhan laut), dan manggar (bunga pinang atau bunga kelapa).

“Itu konsep dasar gajah uling. Kalau ada batik dengan unsur-unsur itu, dan latar belakangnya putih, berarti itu batik khas Banyuwangi,” kata Pemimpin Kelompok Pengrajin Batik “Sayu Wiwit”, Temenggungan, Kecamatan Banyuwangi, Soedjojo Dulhadji.

Dari arti katanya, gajah yang merupakan hewan bertubuh besar, berarti mahabesar. Sedangkan uling berarti eling, atau ingat. “Jadi, berdasar telaahan saya pribadi, gajah uling ini mengajak kita untuk selalu ingat kepada yang mahabesar, kepada Tuhan,” katanya.

Toh, sampai sekarang belum ada kesepakatan final mengenai dasar filosofi gajah uling. Sehingga, masing-masing pengusaha batik memiliki keyakinan sendiri-sendiri tentang keberadaan trade mark batik Banyuwangi ini.

Soedjojo, bisa dikelompokkan sebagai penganut aliran konvensional yang masih setia pada pakem gajah uling. Tak heran, kain batik produksi Sayu Wiwit, selain menampakkan wajah gajah uling dengan kentara, juga banyak yang berlatar belakang putih. Pasalnya, ia berpendapat batik khas Banyuwangi memang seharusnya berwarna dasar putih.

Mempekerjakan 25-30 tenaga kerja, Sayu Wiwit selama ini melayani pasaran batik di Kota Banyuwangi dan sekitarnya. Pasar andalannya, baju seragam siswa dan karyawan di lingkungan Banyuwangi, yang digerakkan atas rekomendasi Bupati Banyuwangi.

***

Lain halnya dengan Suyadi, pemilik Sanggar Batik Virdes di Desa Simbar, Kecamatan Cluring. Bagi Suyadi, pakem gajah uling bisa dikembangkan konsepnya dengan sedemikian rupa, mengikuti selera pasar. “Prinsip saya, pembeli adalah bos. Sehingga bagaimana kata konsumen, saya akan ikuti. Yang penting bentuk gajah uling tidak ditinggalkan, masih tetap ada,” jelasnya.

Tak heran, corak batik Virdes terlihat lebih dinamis, karena lebih berani mengacak pakem gajah uling. Akibatnya, wajah trade mark khas Banyuwangi itu terselip di antara keramaian warna dan gambar lainnya.

Suyadi tak terlalu pusing dengan omzet produksi batik yang banyak dari segi kuantitatif. Untuk setiap corak baru yang dibuatnya-misalnya corak baru batik sutra-ia hanya membuat sepanjang enam meter saja, sebagai sampel.

Sampel itu kemudian dipajang di galeri mininya di Desa Simbar, atau dipamerkan di stan-stan pameran. Biasanya, tak lama setelah motif baru itu dipasarkan, sudah ada pembeli yang memesan, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, misalnya mencapai 100 lebih.

“Sesudah ada pesanan dari konsumen itulah, saya memproduksi batik motif itu sesuai jumlah yang dipesan,” katanya. Dengan corak baru yang sering berganti dan jenis kain yang juga disesuaikan keinginan pembeli, ia berani mematok harga tinggi untuk batik produksinya.

Harga batik tulis dan batik cap di Virdes, berkisar antara Rp 14.000 per meter, sampai Rp 1 juta per meter. Harga itu bisa dinilai wajar, karena konsumen langganan batik Virdes adalah kalangan pejabat, pengusaha, dan pelanggan mancanegara.

Sejumlah pasar yang telah dirambahnya, antara lain Palembang, Jambi, sejumlah kota di Kalimantan, dan hampir semua kota di Jawa Timur. Selain itu, Suyadi juga sering memasok batik gajah uling ke Italia, Perancis, Inggris, dan Australia.

Sumber : (adp) Kompas Cetak, Jakarta